Thursday, May 31, 2012

argumentum ad hominem


Seorang anak balita berlari-lari mengejar bola yang terus menggelinding di sebuah taman.  Tiba-tiba ia terjatuh.  Sang ibu yang melihat kejadian itu sontak langsung mendekati buah hatinya.
“Jatuh ya, Nak?  Siapa yang nakal?  Kodoknya yang nakal ya?  Ugh!  Kodoknya memang nakal!  Ibu pukul ya kodoknya?  Cup..cup..  Jangan nangis lagi ya, kodoknya udah pergi.  Kodoknya memang nakal.”  kata sang Ibu sembari berpura-pura memukul kodok untuk menghentikan tangis anaknya.
Jurus “menyalahkan kodok” seperti ini terkadang memang ampuh untuk menghentikan tangis seorang anak kecil yang terjatuh.  Menghadirkan sebuah kodok fiktif untuk dipersalahkan karena sebetulnya tidak ada kodok di taman itu.  Lebih tepatnya, sebetulnya bukan kodok yang menyebabkan anak itu terjatuh.  Tentunya seorang anak kecil bisa terjatuh karena banyak hal, karena perilaku anak itu sendiri yang berlari-lari kesana kemari, tersandung batu, atau apa pun juga.  Yang jelas, jarang sekali anak kecil terjatuh karena seekor kodok yang nakal.  Lalu kenapa kodok yang disalahkan?  Apa salah kodok?
Ketika kita menimpakan kesalahan kepada orang lain atau benda, maka baru saja kita melakukan argumentum ad hominem.  Sebuah perilaku yang menunjukkan kesalahan logika (logical fallacy) dimana kita menyerang pribadi seseorang atau sesuatu yang tidak ada hubungannya ketika kita menghadapi masalah.  Misalnya, kita datang terlambat ke kantor kemudian kita menyalahkan traffic light yang berwarna merah sehingga menghalangi kita sampai di kantor tepat waktu.  Atau ketika kita gagal ujian, kita salahkan hujan yang datang terus menerus.
Gejala argumentum ad hominem seperti ini menghalangi kita untuk belajar jujur mencari sebab suatu masalah.  Jeda traffic light saat berubah dari warna merah menjadi warna hijau tentu saja tidak berubah setiap harinya.  Lalu mengapa di lain hari kita bisa datang tepat waktu, namun di waktu yang lain kita datang terlambat?  Apa benar traffic light yang menjadikan kita terlambat?  Atau memang karena kita yang terlambat bangun pagi?  Lalu, apa salah hujan ketika kita tidak bisa mengerjakan soal ujian?  Badai kah?  Tentu saja kejujuran dari masing-masing diri kita yang mampu menjawabnya.
Gejala argumentum ad hominem kerap pula kita temui saat berdebat.  Baik perdebatan yang terjadi dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah forum diskusi.  Shoot the messenger, not the messageArgumentum ad hominem adalah cara berdebat yang menyerang pribadi lawan debat secara langsung, bukan argumennya.  Dalam lomba debat sendiri, peserta yang melontarkan argumen menyerang pribadi lawannya akan mendapat “kartu merah” sehingga untuk selanjutnya dia tidak diperkenankan meneruskan debat dan dinyatakan kalah.  Kenapa begitu? Sebab, ad hominem adalah salah satu bentuk logical fallacy.
Logical fallacy adalah sebuah salah besar, karena bisa menjebak perdebatan konstruktif menjadi debat kusir penuh retorika. Beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi logis.  Teknik berargumen jenis ini bisa dilontarkan tampak sangat frontal ataupun disampaikan dengan bahasa yang sangat halus hingga tidak ada orang yang menyadarinya.
Namun yang paling penting, logical fallacy menghasilkan sebuah kesimpulan yang sesat karena tidak disusun dengan logika yang benar.
Kesalahan relevansi.  Benar tidaknya suatu konklusi tidak didasarkan pada kaidah-kaidah logika, tapi pada ukuran-ukuran lain yang tidak relevan dengan logika.  Sebuah kesalahan logika karena pemilihan premis yang tidak tepat, yaitu membuat premis dari proposisi yang salah dan proses kesimpulan premis yang caranya tidak tepat.  Sehingga premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari.  Secara psikologis, premis tersebut nampak saling berhubungan.  Namun kesan akan adanya hubungan psikologis ini sering kali membuat orang terkecoh.
Dalam argumentum ad hominem, ukuran kebenaran yang digunakan adalah penilaian terhadap orang yang menyampaikan pernyataan atau argumentasi.  Sebuah hal yang keliru ketika ukuran logika yang ada dihubungkan dengan kondisi pribadi personal seseorang yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.
Secara sederhana, argumentum ad hominem muncul saat ada keinginan untuk menang.  Saat dimana seseorang tidak bisa menerima kenyataan sehingga akhirnya mencari-cari subjek lain untuk dipersalahkan.  Sebuah hal yang wajar ketika semua orang ingin diterima oleh orang lain.  Baik diterima keberadaanya maupun cara berpikirnya.  Yang menjadi masalah adalah ketika mengusahakan penerimaan itu kita menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan merendahkan pribadi orang lain di sekeliling kita.
Ali ra sendiri pernah mengatakan bahwa “Seorang muslim yang baik adalah ketika ia melihat muslim yang lain maka ia merasa bahwa muslim yang lain itu lebih baik daripada dirinya sendiri.”  Sifat merendahkan orang lain sebetulnya adalah sebuah sikap yang mencerminkan kecacatan pribadi.  Saat kecacatan pribadi seseorang terlihat oleh orang lain maka ia akan sibuk mencari kecacatan yang ada pada diri orang lain.  Sungguh benar kata sebuah peribahasa yang kita kenal saat duduk di bangku sekolah dulu, “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.”
Sayangnya, menghindari kesalahan logika seperti ini dalam kehidupan sehari-hari sangat lah susah.  Kesesatan logika yang kita temui setiap harinya pun sebenarnya sangat efektif digunakan untuk provokasi, menggiring opini publik, pembentukan sebuah regulasi, pembunuhan karakter, atau penghindaran jerat hukum.  Padahal jika ingin menemukan sebuah solusi maka akan terasa lebih bijak jika kita bersama-sama membahas substansi masalah yang ada dan bukan sekedar menginginkan pendapatnya diterima oleh orang lain.  Memang, dengan memanfaatkan kesalahan logika dalam sebuah silat lidah kita dapat memenangkan suatu diskusi, namun itu menjauhkan kita dari esensi permasalahan.  Suatu bangsa akan maju ketika masyarakatnya sudah terbiasa berdiskusi secara konstruktif, termasuk pula bebas dari kesalahan-kesalahan logika saat berargumentasi.
Saya pribadi pun mungkin masih banyak melakukan kesalahan logika dalam menyusun argumen.  Dan bukan sebuah hal yang mustahil ketika selesai membaca tulisan saya yang panjang dan membuat kerut berkening ini, seorang pembaca blog akan berkata : “Heuleuh..  loe aja ngejelasin kesalahan logika masih nggak jelas gini pake ngemeng sok pilsup..  kuliah lagi dulu sanah!  ntar kalo dah lulus baru loe nulis lagi soal beginian..”  Maka pembaca blog tersebut baru saja memberikan contoh kalimat argumentum ad hominem

sumber

No comments: