Seorang
anak balita berlari-lari mengejar bola yang terus menggelinding di sebuah
taman. Tiba-tiba ia terjatuh. Sang ibu yang melihat kejadian itu
sontak langsung mendekati buah hatinya.
“Jatuh ya,
Nak? Siapa yang nakal? Kodoknya yang nakal ya? Ugh!
Kodoknya memang nakal! Ibu pukul ya kodoknya? Cup..cup..
Jangan nangis lagi ya, kodoknya udah pergi. Kodoknya memang nakal.”
kata sang Ibu sembari berpura-pura memukul kodok untuk menghentikan tangis
anaknya.
Jurus
“menyalahkan kodok” seperti ini terkadang memang ampuh untuk menghentikan
tangis seorang anak kecil yang terjatuh. Menghadirkan sebuah kodok fiktif
untuk dipersalahkan karena sebetulnya tidak ada kodok di taman itu. Lebih
tepatnya, sebetulnya bukan kodok yang menyebabkan anak itu terjatuh.
Tentunya seorang anak kecil bisa terjatuh karena banyak hal, karena perilaku
anak itu sendiri yang berlari-lari kesana kemari, tersandung batu, atau apa pun
juga. Yang jelas, jarang sekali anak kecil terjatuh karena seekor kodok
yang nakal. Lalu kenapa kodok yang disalahkan? Apa salah kodok?
Ketika
kita menimpakan kesalahan kepada orang lain atau benda, maka baru saja kita
melakukan argumentum ad hominem. Sebuah perilaku yang menunjukkan
kesalahan logika (logical fallacy) dimana kita menyerang pribadi
seseorang atau sesuatu yang tidak ada hubungannya ketika kita menghadapi
masalah. Misalnya, kita datang terlambat ke kantor kemudian kita
menyalahkan traffic light yang berwarna merah sehingga menghalangi
kita sampai di kantor tepat waktu. Atau ketika kita gagal ujian, kita
salahkan hujan yang datang terus menerus.
Gejala
argumentum ad hominem seperti ini menghalangi kita untuk belajar jujur
mencari sebab suatu masalah. Jeda traffic light saat berubah
dari warna merah menjadi warna hijau tentu saja tidak berubah setiap
harinya. Lalu mengapa di lain hari kita bisa datang tepat waktu, namun di
waktu yang lain kita datang terlambat? Apa benar traffic light yang
menjadikan kita terlambat? Atau memang karena kita yang terlambat bangun
pagi? Lalu, apa salah hujan ketika kita tidak bisa mengerjakan soal
ujian? Badai kah? Tentu saja kejujuran dari masing-masing diri kita
yang mampu menjawabnya.
Gejala
argumentum ad hominem kerap pula kita temui saat berdebat. Baik
perdebatan yang terjadi dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah forum
diskusi. Shoot the messenger, not the message. Argumentum
ad hominem adalah cara berdebat yang menyerang pribadi lawan debat secara
langsung, bukan argumennya. Dalam lomba debat sendiri, peserta yang
melontarkan argumen menyerang pribadi lawannya akan mendapat “kartu merah”
sehingga untuk selanjutnya dia tidak diperkenankan meneruskan debat dan
dinyatakan kalah. Kenapa begitu? Sebab, ad hominem adalah salah
satu bentuk logical fallacy.
Logical
fallacy adalah sebuah salah besar, karena bisa menjebak perdebatan
konstruktif menjadi debat kusir penuh retorika. Beberapa jenis kesesatan
penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi logis. Teknik berargumen
jenis ini bisa dilontarkan tampak sangat frontal ataupun disampaikan
dengan bahasa yang sangat halus hingga tidak ada orang yang menyadarinya.
Namun yang paling penting, logical fallacy menghasilkan sebuah
kesimpulan yang sesat karena tidak disusun dengan logika yang benar.
Kesalahan
relevansi. Benar tidaknya suatu konklusi tidak didasarkan pada
kaidah-kaidah logika, tapi pada ukuran-ukuran lain yang tidak relevan dengan
logika. Sebuah kesalahan logika karena pemilihan premis yang tidak tepat,
yaitu membuat premis dari proposisi yang salah dan proses kesimpulan premis
yang caranya tidak tepat. Sehingga premisnya tidak berhubungan dengan
kesimpulan yang akan dicari. Secara psikologis, premis tersebut nampak
saling berhubungan. Namun kesan akan adanya hubungan psikologis ini
sering kali membuat orang terkecoh.
Dalam
argumentum ad hominem, ukuran kebenaran yang digunakan adalah
penilaian terhadap orang yang menyampaikan pernyataan atau argumentasi.
Sebuah hal yang keliru ketika ukuran logika yang ada dihubungkan dengan kondisi
pribadi personal seseorang yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau
kekeliruan isi argumennya.
Secara
sederhana, argumentum ad hominem muncul saat ada keinginan untuk
menang. Saat dimana seseorang tidak bisa menerima kenyataan sehingga
akhirnya mencari-cari subjek lain untuk dipersalahkan. Sebuah hal yang
wajar ketika semua orang ingin diterima oleh orang lain. Baik diterima
keberadaanya maupun cara berpikirnya. Yang menjadi masalah adalah ketika
mengusahakan penerimaan itu kita menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan
merendahkan pribadi orang lain di sekeliling kita.
Ali
ra sendiri pernah mengatakan bahwa “Seorang muslim yang baik adalah ketika ia
melihat muslim yang lain maka ia merasa bahwa muslim yang lain itu lebih baik
daripada dirinya sendiri.” Sifat merendahkan orang lain sebetulnya adalah
sebuah sikap yang mencerminkan kecacatan pribadi. Saat kecacatan pribadi
seseorang terlihat oleh orang lain maka ia akan sibuk mencari kecacatan yang
ada pada diri orang lain. Sungguh benar kata sebuah peribahasa yang kita
kenal saat duduk di bangku sekolah dulu, “kuman di seberang lautan tampak,
gajah di pelupuk mata tak tampak.”
Sayangnya,
menghindari kesalahan logika seperti ini dalam kehidupan sehari-hari sangat lah
susah. Kesesatan logika yang kita temui setiap harinya pun sebenarnya
sangat efektif digunakan untuk provokasi, menggiring opini publik, pembentukan
sebuah regulasi, pembunuhan karakter, atau penghindaran jerat hukum.
Padahal jika ingin menemukan sebuah solusi maka akan terasa lebih bijak jika
kita bersama-sama membahas substansi masalah yang ada dan bukan sekedar
menginginkan pendapatnya diterima oleh orang lain. Memang, dengan
memanfaatkan kesalahan logika dalam sebuah silat lidah kita dapat memenangkan
suatu diskusi, namun itu menjauhkan kita dari esensi permasalahan. Suatu
bangsa akan maju ketika masyarakatnya sudah terbiasa berdiskusi secara
konstruktif, termasuk pula bebas dari kesalahan-kesalahan logika saat
berargumentasi.
Saya
pribadi pun mungkin masih banyak melakukan kesalahan logika dalam menyusun
argumen. Dan bukan sebuah hal yang mustahil ketika selesai membaca
tulisan saya yang panjang dan membuat kerut berkening ini, seorang pembaca blog
akan berkata : “Heuleuh.. loe aja ngejelasin kesalahan logika masih nggak
jelas gini pake ngemeng sok pilsup.. kuliah lagi dulu sanah! ntar
kalo dah lulus baru loe nulis lagi soal beginian..” Maka pembaca blog
tersebut baru saja memberikan contoh kalimat argumentum ad hominem
No comments:
Post a Comment