Keberadaan Guru Tidak Tetap (GTT)
nampaknya ditakdirkan senantiasa memiliki permasalahan kompleks. Bukan rahasia
umum jika kelompok guru ini dikategorikan sebagai kelompok guru dengan
“penderitaan” tiada akhir.
Penghasilan jauh di bawah UMR, dan penghargaan
profesi minim merupakan menu sehari-hari manakala permasalahan GTT ini
mengemuka. Namun empati pihak–pihak terkait dunia pendidikan kita masih teramat
lemah. Jangankan melakukan advokasi, sekadar mengetahui permasalahan yang
dihadapi GTT pun, publik terkesan menutup mata dan telinga. Kondisi ini
membuktikan sebenarnya marginalisasi GTT telah terjadi sedemikan kompleksnya
sehingga permasalahan GTT tidak akan terpecahkan. Kondisi ini teramat miris
mengingat di saat guru PNS kesulitan menghitung besaran tunjangan sertifikasi,
GTT tenggelam dalam ketidakjelasan kesejahteraan.
Upaya peningkatan kesejahteraan GTT
sendiri sebenarnya sudah diupayakan. Namun nampaknya beragam pola untuk
menyejahterakan GTT pun pada akhirnya mengalami hambatan konstitusional.
Ancaman tidak digajinya GTT disebabkan peruntukan BOS tidak boleh untuk gaji
tenaga honorer (Joglosemar 18 Maret 2010), merupakan salah satu bukti
ketidakberdayaan GTT. Parahnya, penzaliman profesi GTT sudah terjadi sedemikian
sistematisnya hingga tidak ada kekuatan besar untuk mengatasinya. Bagaimanakah
selayaknya pemberdayaan GTT tanpa memperdayakannya, merupakan pertanyaan
pokok berkaitan masih terombang-ambingnya profesi GTT. Permasalahan pokok ini
mutlak memerlukan tindakan cerdas untuk direalisasikannya.
Profesi
GTT tidak ubahnya sebuah profesi yang harus menghadapi beragam badai di
dalamnya. Ketidakjelasan status kepegawaian merupakan hulu dari beragam
permasalahan ini. Dikarenakan statusnya sebagai pegawai tidak tetap, akhirnya
diimplementasikan sebagai pihak yang mudah menjadi korban kebijakan. Dengan
status kepegawaiannya, GTT sangat rentan menjadi korban kebijakan pendidikan.
Pemberlakuan sertifikasi guru misalnya, program penyejahteraan guru ini
ternyata tidak menyentuh level GTT. Berdasarkan ketentuan sertifikasi guru
dinyatakan guru yang berhak mengikuti proses sertifikasi guru adalah guru PNS
dan guru tetap swasta.
Permasalahan status kepegawaian pada akhirnya menumbuhkan kecemburuan sosial di kalangan guru. Di satu sisi terdapat guru dengan materi berlimpah, di sisi lain terdapat guru larut pada derita tiada akhir. Pihak pemerintah menyikapi permasalahan ini terkesan menutup mata dan cenderung bermain aman. Saling lempar tanggung jawab pun akan terjadi mengapa GTT tidak sesegera mungkin disertifikasi.
Permasalahan status kepegawaian pada akhirnya menumbuhkan kecemburuan sosial di kalangan guru. Di satu sisi terdapat guru dengan materi berlimpah, di sisi lain terdapat guru larut pada derita tiada akhir. Pihak pemerintah menyikapi permasalahan ini terkesan menutup mata dan cenderung bermain aman. Saling lempar tanggung jawab pun akan terjadi mengapa GTT tidak sesegera mungkin disertifikasi.
Dampak
teknis tidak jelasnya status kepegawaian ini mengemuka pada proses pembelajaran
di sekolah. Tuntutan guru bersertifikasi untuk mengajar 24 jam per pekan
semakin meminggirkan keberadaan GTT. Logikanya, penyelenggara sekolah tidak
menginginkan menjadi penghambat bagi guru profesional untuk mendapatkan
tunjangan profesinya. Dampaknya sering ditemukan pada saat pembagian jam
mengajar, prioritas diberikan pada guru besertifikasi tersebut sementara GTT
tinggal gigit jari. Apalagi pada sekolah dengan jumlah siswa sedikit, sekolah
tersebut akhirnya secara tidak langsung terjadi pemecatan massal GTT manakala
pada awal tahun pelajaran lantaran jam mengajarnya sudah digunakan oleh guru
besertifikasi. Jam mengajar bagi GTT diibaratkan sebagai ”nyawa hidup” karena gaji yang
diterima dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar per pekannya. Dengan kondisi
ini manakala GTT semakin bertambah banyak jam mengajarnya, pendapatan meningkat
demikian pula sebaliknya.Menyikapi fenomena ”perebutan” jam mengajar di atas, sudah bisa dipastikan GTT
terpaksa harus tabah. Kebijakan pemerintah yang mengatur pendidikan justru
memberangus profesinya. Kebijakan sertifikasi guru merupakan contoh konkretnya.
Selain kebijakan sertifikasi yang menisbikan keadilan profesi, masih terdapat
kebijakan lain yang ujung-ujungnya semakin mengimpit keberadaan GTT. Kebijakan
tunjangan bagi guru non-PNS misalnya, pemerintah beberapa tahun terakhir mulai
memberikan tunjangan bagi guru non-PNS dengan besaran bervariasi antara Rp
100.000–250.000/bulan.
Dijelaskannya, honor untuk guru TK antara Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu per
bulan. Untuk GTT SD antara Rp 100 ribu sampai 600 ribu per bulan dan untuk
tingkat SMP sampai SMA dan SMK dihitung berdasarkan jam mengajar. Hanya saja, jam mengajar yang dibayar
hanya jam mengajar selama satu minggu. Tidak dihitung total satu bulan. GTT di
SMP sampai SMA yang dibayar hanya jam mengajar selama satu minggu saja. Untuk
tiga minggu kemudian tidak dibayar. “Misalnya,
satu minggu mengajar selama 20
jam. Satu jam pelajaran biasanya
berkisar
Rp 30
ribu. Jam mengajar satu minggu di kali Rp 30 ribu di kali satu, tidak dikali tiga
atau empat jumlah minggunya. Artinya, jam mengajar selama tiga minggu dianggap
amal atau apa namanya,”
Tunjangan tersebut diberikan berjenjang
dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Logikanya seluruh GTT
yang tercatat dalam pendataan pemerintah mendapatkannya. Namun impian indah
mendapatkan tunjangan ini hancur berkeping-keping. Di saat tunjangan diberikan
muncul instruksi pemerintah yang melarang GTT mendapatkan tunjangan lebih dari
satu sumber. Dampaknya, tunjangan yang diberikan pada GTT diklasifikasikan
berdasarkan sumbernya dan masing-masing GTT dilarang menerima lebih dari satu
sumber. Asas keadilan samar-samar terlihat menyikapi mekanisme pencairan
tunjangan ini dan mengesankan pemerintah pilih kasih dalam menyikapi keberadaan
warga negaranya. Di satu pihak tunjangan profesi diberikan minimal 3.000.000
/bulan, di sisi lain tunjangan bagi GTT maksimal 250.000 /bulan itu pun dengan
pengucuran bak menanti banjir di musim kemarau.
Marginalisasi
GTT sendiri pada akhirnya terus berlangsung tanpa ada upaya untuk
menghentikannya. Permendiknas Nomor 37 tahun 2010 yang menyatakan dana BOS
dilarang digunakan untuk membayar GTT semakin meneguhkannya. Menyikapi
peraturan tersebut sebenarnya teramat bias mengingat jika ditelaah lebih
mendalam BOS merupakan Bantuan Operasional Sekolah bukan siswa, sehingga
logikanya dana tersebut tidak perlu dipermasalahkan untuk menggaji GTT
dikarenakan terbatasnya keuangan sekolah.
Kenyataan
ini berpijak bahwa dukungan bagi GTT untuk mendapatkan hak-hak profesinya belum
mendapatkan dukungan dari semua pihak. Jangankan mengharapkan dukungan dari
masyarakat, dukungan dari kalangan guru sendiri GTT ini masih dianggap sebelah
mata. Guru memang memiliki Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Namun saat
GTT dihantam berbagai badai yang menenggelamkan, tingkat kepedulian mereka
masih sangat memprihatinkan. Pihak GTT sendiri bukannya mengharamkan pengorganisasian, namun organisasi yang
dibentuk selama ini masih terkesan berjalan sendiri–sendiri sehingga tujuan
menyejahterakan GTT belum menuai hasil optimal. Solidaritas Tenaga Kependidikan
Wiyata Bakti Surakarta (Soetapawibaksa), Forum Tenaga Honorer Seluruh Negeri
Indonesia (FTHSNI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan beberapa
elemen dengan berbasis massa GTT seakan berlomba–lomba menyuarakan peningkatan
kesejahteraan GTT. Mereka justru terkesan berjalan sendiri–sendiri tidak dalam
satu jemaah yang kokoh.
Belum
berhasilnya pola perjuangan GTT selama ini salah satunya disebabkan belum
berkembangnya advokasi guru. Advokasi guru ini mutlak diberikan mengingat
pemahaman tentang pola perjuangan akan lebih bermanfaat untuk keberhasilan
perjuangan GTT.
sumber:berbagai sumber
No comments:
Post a Comment