Thursday, May 31, 2012

tetap semangat dan bersabar


Keberadaan Guru Tidak Tetap (GTT) nampaknya ditakdirkan senantiasa memiliki permasalahan kompleks. Bukan rahasia umum jika kelompok guru ini dikategorikan sebagai kelompok guru dengan “penderitaan” tiada akhir.
Penghasilan jauh di bawah UMR, dan penghargaan profesi minim merupakan menu sehari-hari manakala permasalahan GTT ini mengemuka. Namun empati pihak–pihak terkait dunia pendidikan kita masih teramat lemah. Jangankan melakukan advokasi, sekadar mengetahui permasalahan yang dihadapi GTT pun, publik terkesan menutup mata dan telinga. Kondisi ini membuktikan sebenarnya marginalisasi GTT telah terjadi sedemikan kompleksnya sehingga permasalahan GTT tidak akan terpecahkan. Kondisi ini teramat miris mengingat di saat guru PNS kesulitan menghitung besaran tunjangan sertifikasi, GTT tenggelam dalam ketidakjelasan kesejahteraan.
Upaya peningkatan kesejahteraan GTT sendiri sebenarnya sudah diupayakan. Namun nampaknya beragam pola untuk menyejahterakan GTT pun pada akhirnya mengalami hambatan konstitusional. Ancaman tidak digajinya GTT disebabkan peruntukan BOS tidak boleh untuk gaji tenaga honorer (Joglosemar 18 Maret 2010), merupakan salah satu bukti ketidakberdayaan GTT. Parahnya, penzaliman profesi GTT sudah terjadi sedemikian sistematisnya hingga tidak ada kekuatan besar untuk mengatasinya. Bagaimanakah selayaknya pemberdayaan GTT tanpa memperdayakannya,  merupakan pertanyaan pokok berkaitan masih terombang-ambingnya profesi GTT. Permasalahan pokok ini mutlak memerlukan tindakan cerdas untuk direalisasikannya.
Profesi GTT tidak ubahnya sebuah profesi yang harus menghadapi beragam badai di dalamnya. Ketidakjelasan status kepegawaian merupakan hulu dari beragam permasalahan ini. Dikarenakan statusnya sebagai pegawai tidak tetap, akhirnya diimplementasikan sebagai pihak yang mudah menjadi korban kebijakan. Dengan status kepegawaiannya, GTT sangat rentan menjadi korban kebijakan pendidikan. Pemberlakuan sertifikasi guru misalnya, program penyejahteraan guru ini ternyata tidak menyentuh level GTT. Berdasarkan ketentuan sertifikasi guru dinyatakan guru yang berhak mengikuti proses sertifikasi guru adalah guru PNS dan guru tetap swasta. 
Permasalahan status kepegawaian pada akhirnya menumbuhkan kecemburuan sosial di kalangan guru. Di satu sisi terdapat guru dengan materi berlimpah, di sisi lain terdapat guru larut pada derita tiada akhir. Pihak pemerintah menyikapi permasalahan ini terkesan menutup mata dan cenderung bermain aman. Saling lempar tanggung jawab pun akan terjadi mengapa GTT tidak sesegera mungkin disertifikasi.
Dampak teknis tidak jelasnya status kepegawaian ini mengemuka pada proses pembelajaran di sekolah. Tuntutan guru bersertifikasi untuk mengajar 24 jam per pekan semakin meminggirkan keberadaan GTT. Logikanya, penyelenggara sekolah tidak menginginkan menjadi penghambat bagi guru profesional untuk mendapatkan tunjangan profesinya. Dampaknya sering ditemukan pada saat pembagian jam mengajar, prioritas diberikan pada guru besertifikasi tersebut sementara GTT tinggal gigit jari. Apalagi pada sekolah dengan jumlah siswa sedikit, sekolah tersebut akhirnya secara tidak langsung terjadi pemecatan massal GTT manakala pada awal tahun pelajaran lantaran jam mengajarnya sudah digunakan oleh guru besertifikasi. Jam mengajar bagi GTT diibaratkan sebagai ”nyawa hidup” karena gaji yang diterima dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar per pekannya. Dengan kondisi ini manakala GTT semakin bertambah banyak jam mengajarnya, pendapatan meningkat demikian pula sebaliknya.Menyikapi fenomena ”perebutan” jam mengajar di atas, sudah bisa dipastikan GTT terpaksa harus tabah. Kebijakan pemerintah yang mengatur pendidikan justru memberangus profesinya. Kebijakan sertifikasi guru merupakan contoh konkretnya. Selain kebijakan sertifikasi yang menisbikan keadilan profesi, masih terdapat kebijakan lain yang ujung-ujungnya semakin mengimpit keberadaan GTT. Kebijakan tunjangan bagi guru non-PNS misalnya, pemerintah beberapa tahun terakhir mulai memberikan tunjangan bagi guru non-PNS dengan besaran bervariasi antara Rp 100.000–250.000/bulan. Dijelaskannya, honor untuk guru TK antara Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu per bulan. Untuk GTT SD antara Rp 100 ribu sampai 600 ribu per bulan dan untuk tingkat SMP sampai SMA dan SMK dihitung berdasarkan jam mengajar. Hanya saja, jam mengajar yang dibayar hanya jam mengajar selama satu minggu. Tidak dihitung total satu bulan. GTT di SMP sampai SMA yang dibayar hanya jam mengajar selama satu minggu saja. Untuk tiga minggu kemudian tidak dibayar. “Misalnya, satu minggu mengajar selama 20 jam. Satu jam pelajaran biasanya berkisar Rp 30 ribu. Jam mengajar satu minggu di kali Rp 30 ribu di kali satu, tidak dikali tiga atau empat jumlah minggunya. Artinya, jam mengajar selama tiga minggu dianggap amal atau apa namanya,”
         Tunjangan tersebut diberikan berjenjang dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Logikanya seluruh GTT yang tercatat dalam pendataan pemerintah mendapatkannya. Namun impian indah mendapatkan tunjangan ini hancur berkeping-keping. Di saat tunjangan diberikan muncul instruksi pemerintah yang melarang GTT mendapatkan tunjangan lebih dari satu sumber. Dampaknya, tunjangan yang diberikan pada GTT diklasifikasikan berdasarkan sumbernya dan masing-masing GTT dilarang menerima lebih dari satu sumber. Asas keadilan samar-samar terlihat menyikapi mekanisme pencairan tunjangan ini dan mengesankan pemerintah pilih kasih dalam menyikapi keberadaan warga negaranya. Di satu pihak tunjangan profesi diberikan minimal 3.000.000 /bulan, di sisi lain tunjangan bagi GTT maksimal 250.000 /bulan itu pun dengan pengucuran bak menanti banjir di musim kemarau.
Marginalisasi GTT sendiri pada akhirnya terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Permendiknas Nomor 37 tahun 2010 yang menyatakan dana BOS dilarang digunakan untuk membayar GTT semakin meneguhkannya. Menyikapi peraturan tersebut sebenarnya teramat bias mengingat jika ditelaah lebih mendalam BOS merupakan Bantuan Operasional Sekolah bukan siswa, sehingga logikanya dana tersebut tidak perlu dipermasalahkan untuk menggaji GTT dikarenakan terbatasnya keuangan sekolah.
Kenyataan ini berpijak bahwa dukungan bagi GTT untuk mendapatkan hak-hak profesinya belum mendapatkan dukungan dari semua pihak. Jangankan mengharapkan dukungan dari masyarakat, dukungan dari kalangan guru sendiri GTT ini masih dianggap sebelah mata. Guru memang memiliki Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Namun saat GTT dihantam berbagai badai yang menenggelamkan, tingkat kepedulian mereka masih sangat memprihatinkan. Pihak GTT sendiri bukannya mengharamkan pengorganisasian, namun organisasi yang dibentuk selama ini masih terkesan berjalan sendiri–sendiri sehingga tujuan menyejahterakan GTT belum menuai hasil optimal. Solidaritas Tenaga Kependidikan Wiyata Bakti Surakarta (Soetapawibaksa), Forum Tenaga Honorer Seluruh Negeri Indonesia (FTHSNI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan beberapa elemen dengan berbasis massa GTT seakan berlomba–lomba menyuarakan peningkatan kesejahteraan GTT. Mereka justru terkesan berjalan sendiri–sendiri tidak dalam satu jemaah yang kokoh.
Belum berhasilnya pola perjuangan GTT selama ini salah satunya disebabkan belum berkembangnya advokasi guru. Advokasi guru ini mutlak diberikan mengingat pemahaman tentang pola perjuangan akan lebih bermanfaat untuk keberhasilan perjuangan GTT.
sumber:berbagai sumber

No comments: